Terkait dengan ayam, Indonesia memiliki masa lalu yang panjang. Jika sampai saat ini hanya Sungai Kuning di Cina dan lembah Indus di India yang diakui sebagai pusat sejarah domestikasi ayam dunia, maka india sebenarnya akan menjadi yang ketiga. Mungkin kunci untuk memahami mengapa mitos ayam jago begitu mengakar dalam budaya adalah sejarah panjang interaksi antara manusia dan ayam di tanah Indonesia.
Clifford James Geertz adalah seorang antropolog yang bekerja dengan istrinya di desa pedesaan Bali pada awal April 1958. Kemunculan polisi yang cepat mengejutkan antropolog, yang terkenal dengan bukunya Negara: The Theater State in Nineteenth- Abad Bali. Ya, beberapa petugas polisi muncul di komunitas terpencil ini untuk menggagalkan operasi taruhan sabung ayam.
Secara alami, semua orang lari, bahkan Geertz dan istrinya. Sejak saat itu, Geertz tidak hanya “memasuki” masyarakat Bali tanpa kesulitan; sebagai peneliti bidang antropologi, ia juga menemukan bacaan tentang pentingnya upacara sabung ayam Bali.
Dalam salah satu tulisannya yang terkenal, Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight, Geertz mengabadikan memori pengalaman menonton sabung ayam di Bali. Kesimpulan dari esai tersebut, yang kemudian menjadi salah satu bagian kunci dalam bukunya The Interpretation of Culture: Selected Essays, adalah hanya ayam jantan (ayam) yang terlihat berkelahi di sana. Pada kenyataannya, ada manusia yang bertarung.
Kata “jago” dalam kosa kata menunjukkan KBBI dan berarti “ayam jantan”. Namun, istilah ini juga bisa merujuk pada “kandidat terdepan dalam perlombaan”, “juara”, atau “juara”. dalam bahasa Jawa juga. Kata Jawa untuk “jago” adalah “ayam”. Dalam leksikon bahasa Indonesia, kata ini juga memiliki arti konotatif.
Dua ayam jantan yang dipacu biasanya diadu satu sama lain dalam permainan ini. Atau sesekali ayam jantan sengaja diberi taji palsu yang terbuat dari bambu, kayu runcing, atau bahkan logam. Setelah salah satu ayam jantan dikalahkan, kontes dianggap selesai. Dalam bukunya The History of Java yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1817, Thomas Stamford Raffles mengamati bahwa sabung ayam adalah olahraga yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa.
Reid juga mengklaim bahwa aktivitas sabung ayam memiliki makna religius dan memainkan peran penting dalam perayaan pura, ritual penyucian, dan ziarah, setidaknya di Jawa pra-Islam dan hingga saat ini di Bali. Darah ayam aduan dipandang sebagai pengorbanan untuk menenangkan para dewa, untuk kesuburan, untuk ritual penyucian, dan untuk memperingati kemenangan dalam pertempuran.
Comments